Jika
anda pernah berkunjung atau hanya sekedar
lewat ke Jalan Panyawungan yang
tepat di samping bundaran tol Cileunyi, anda akan menyusuri jalanan
berlubang (untuk tidak menyatakan sungai tanpa air) yang di kiri-kanannya
adalah industri-industri dan gudang-gudang distribusi perusahaan mapan nasional
maupun perusahaan multinasional.
Pada
jam-jam tertentu, jalanan ini seperti menjadi aliran manusia yang hilir mudik
untuk masuk kerja. Para pekerja
perempuan mendominasi gerbang industri-industri manufaktur, sedang para pekerja
laki-laki kebanyakan bekerja di gudang-gudang distribusi dan di industri berat.
Entah berapa ribu orang tenaga kerja yang terserap oleh perusahaan-perusahaan
yang berda di sepanjang Jalan Panyawungan. Ya betul, perusahaan-perusahaan tersebut
telah menjadi temali rejeki bagi ribuan masyarakat Indonesia.
Setelah
berjalan kira-kira sejauh 900 meter, anda akan memasuki sebuah perkampungan
besar yang lingkungannya masih cukup terjaga bila dibandingkan dengan
perkampungan pinggiran industri di daerah lain. Disaat orang-orang berangkat
membanjiri tempat kerja yang tidak jauh lokasinya, warga di sini terlihat lebih
santai seperti tidak ada aktifitas yang berarti. Terlihat banyak usia produktif
terutama dari para pemuda hanya memadati pos –pos ojeg yang ada di daerah
tersebut.
Berawal
dari permasalahan sederhana ini, penulis ingin lebih mengetahui dinamika sosial
dan permasalahan sosial yang ada di masyarakat kampung Panyawungan yang
dipengaruhi oleh kehadiran industri-industri yang berdiri di lingkungan
tersebut versi pandangan dan data sederhana yang didapat penulis.
Menurut
asumsi penulis, Industrialisasi yang dibangun di lingkar Cileunyi-Rancaekek pada
awal tahun 90-an bukan saja mempengaruhi perubahan fisik dan kemajuan ekonomi
di lingkungan tersebut, namun pengaruhnya juga masuk kedalam sendi-sendi
kehidupan sosial masyarakat di wilayah tersebut. Di antara dinamika sosial dan
perubahan pranata sosial yang penulis temukan adalah maraknya konflik horisontal yang terjadi di masyarakat. Adapun beberapa penyebab yang penulis temukan adalah sebagai berikut:
1) Kurang
Terserapnya Masyarakat Lokal Sebagai Tenaga Kerja
Kurang
terserapnya tenaga lokal sebagai tenaga kerja di lingkungan kerja di wilayah
sendiri menjadi faktor pemicu ketidakharmonisan antara masyarakat lokal, pihak
industri, dan masyarakat pendatang. Dapat dimengerti jika pihak industri enggan
untuk memakai tenaga lokal, selain kurangnya motivasi kerja karena merasa
sebagai orang daerah, tenaga lokal juga sering kedapatan melakukan kecurangan
dan praktek-praktek licik yang merugikan pihak industri. Dari oknum-oknum
pekerja lokal itulah, calon atau pekerja lokal aktif pun terkena imbasnya.
Pilihan
industri untuk menggunakan orang luar daerah menjadi pemicu kecemburuan bagi
masyarakat lokal. Banyaknya pekerja luar daerah, ternyata bukan hanya kesalahan
dari para oknum-oknum pekerja lokal yang menjadikan stigma negatif perusahaan
terhadap masyarakat lokal, ternyata banyak oknum bak dari kalangan masyarakat
baik itu dari pemerintahan lokal, aparat lokal, maupun masyarakat biasa yang
melakukan praktek percaloan tenaga kerja, salah satu contoh kecurangan yang
ditemui adalah memasukan orang luar daerah menjadi anggota keluarga dalam kartu
keluarga masyarakat lokal sehingga pendatang dengan mudah membuat identitas
sebagai warga lokal. Industri yang mungkin telah menjatahkan kuota untuk orang
lokal dimanfaatkan oleh calo-calo tenaga kerja.
Kurang
terserapnya masyarakat lokal sebagai tenaga kerja di lingkuannya sendiri
terlihat dari statistik penduduk masyarakat RW. 03 Kampung Panyawungan dan RW.
02 Kampung Kara yang memiliki beban pengangguran 62 % dari jumlah penduduk usia
produktif. Kecemburuan-kecemburuan semacam itu yang memicu demo dan perusakan
pada PT. STG pada tahun 1997 dan perang antar warga Kampung Panyawungan dan
warga perumahan Bumi Cipacing Permai pada tahun 1998. Kedua peristiwa tersebut
adalah peristiwa besar di samping peristiwa-peristiwa kecil yang terus terjadi
hingga saat ini.
2) Banyaknya
Praktek Premanisme
Praktek
premanisme sangat menjamur di lingkungan sub-urban
seperti di lingkungan industri yang ada di Jl. Kampung Panyawungan. Praktek
premanisme yang dapat saya amati seperti praktek pencaloan tenaga kerja,
pengelolaan limbah industri yang dipegang oleh perorangan yang memiliki
pengaruh, pemungutan liar para pedagang kaki lima, pemungutan liar parkir
kendaraan jemputan.
Saya
bahas pengelolaan limbah industri yang menurut saya menjadi pemicu konflik yang
cukup dahsyat. “Tidak ada barang yang tak jadi uang”, sepenggal kata itu
mungkin yang tepat untuk mengawali pembahasan. Limbah industri, ternyata mampu
mendatangkan rupiah yang sangat besar terutama limbah yang dihasilkan oleh
industri tekstile, karena besarnya rupiah yang diasilkan oleh pengelolaan
limbah industri ini, tidak jarang baik perorangan maupun kelompok mencoba
mendapatkan hak tunjuk oleh perusahaan sebagai pengelola. Untuk mendapatkan hak
tersebut, tidak jarang menimbulkan konflik yang memobilisasi massa. Contoh yang
baru-baru ini terjadi adalah perebutan limbah tekstil PT. Gistex antara
kelompok yang mengatasnamakan Karang Taruna RW. 03 Kampung Panyawungan dan
Pondok Pesantren Bustanul Wildan Cileunyi. Konflik ini cukup memanas sehingga
terjadi mobilisasi massa dari kedua belah pihak, meskipun konflik fisik tidak
terjadi, namun konflik emosional dan konflik intelektual atau perang dingin
terus berlangsung di antra kedua belah pihak.
Sayangnya,
pihak industri lebih tertarik memberikan pengelolaan limbahnya terhadap
perseorangan yang memiliki kekuatan untuk memberikan rasa aman pada industri
seperti preman dan oknum aparat. Padahal jika pengelolaan tersebut diberikan
kepada lembaga profesioanal yang ada dimasyarakat dan dikelola secara
prfesioanl akan mampu mengurangi beban pengangguran masyarakat sekitar dan
meningkatkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat sekitar sehingga dapat
mengurangi kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial masyarakat serta dapat
menciptakan keharmonisan lingkungan.
3) Meningkatnya
Angka Perceraian dan Sistem Sosial yang Maskulin
Industri
sekitar yang menyerap tenaga perempuan hampir 90 persen, dan rata-rata jam
kerja selama delapan jam perhari, menjadikan wilayah tersebut sepi dari
dinamika keperempuanan seperti kegiatan Posyandu dan kegiatan ibu-ibu PKK
lainya. Di lingkungan tersebut hampir tidak pernah melibatkan perempuan baik
kegiatan rutinan maupun kegiatan-kegiatan yang melibatkan struktur pemerintah
(RT/RW) setempat. Hal ini terlihat dari tidak adanya unsur perempuan dalam
struktur organisasi-organisasi kegiatan lokal seperti RT, RW, Panitia Hari
Besar Islam (PHBI), Karang Taruna, dan lainnya.
Namun,
di balik kurang atau tidak adanya warna perempuan dalam kehidupan pranata
sosial di lingkungan masyarakat, ternyata keberadaan perempuan sangat kuat
pengaruhnya di dalam rumah tangga. Kekuatan pengaruh perempuan dalam lingkup
rumah tangga ini disebabkan karena di lingkungan tersebut banyak perempuan yang
justru menjadi tulang punggung keluarga dan adanya pertukaran peran dalam rumah
tangga. Ketimpangan dalam hal penghasilan ini menurut ketua RW. 03 Kampung
Panyawungan adalah sebab dominannya perceraian warganya, tercatat selama tahun
2012 sudah ada empat pasangan yang meminta surat keterangan perceraian.
4) Antara
Jalanan Rusak dan CSR
“Jangankan
CSR yang entah bagaimana prosesnya jalanan yang seharusnya menjadi fasilitas
umum aja dirusak kenyamanannya oleh mereka”, mengutip curhatan salah satu
aktifis dilingkungan tersebut.
Mohamad Romdoni
Program Director at Kelompok Usaha Seuweu Putu
Mohamad Romdoni
Program Director at Kelompok Usaha Seuweu Putu