Selasa, 01 Februari 2011

Potensi Yang Kami Miliki


Kolam

Pembangunan Perekonomian Pesantren


Pesantren sebagai lembaga non profit sering dikaitkan dengan keikhlasan guru-gurunya dalam mengajar – terlebih pesantren shalfy –. Dasar keikhlasan kiranya adalah salah satu penyebab mengapa pesantren  berkembang pesat di tanah air. Namun di sisi lain, terkadang tarap kehidupan keluarga pondok pesantren tidak jarang sangat memperihatinkan karena tidak sempat mencari penghidupan ekonomi demi mewakafkan hidupnya untuk  kegiatan belajar mengajar.
Kemunduran ekonomi pesantren adalah salah satu sebab kemunduran pesantren selama dasawarsa terakhir ini. Dalam era globalisasi seperti ini, penguatan ekonomi di pesantren amatlah penting untuk menunjang stabilitas dari pada tujuan dan cita-cita pesantren dalam rangka mencetak akhlak dan moral bangsa.
Dengan adanya aktivitas perekonomian di dalam lembaga pesantren, juga diharapkan dapat mengembangkan skill kehidupan sosial dan ekonomi santri yang berlandaskan kesederhanaan. Hal itu tentu akan membantu memudahkan santri ketika menghadapi tantangan sebagai penggawa moral kelak dikemudian hari.
Atas dasar tersebut, maka kami insan pondok pesantren Nahdjussalam merasa perlu adanya lembaga ekonomi di bawah pengawasan pesantren untuk menunjang keberlangsungan stabilitas pesantren. Dalam hal ini, kami bermaksud untuk mengembangkan usaha yang bergerak dalam bidang agro bisnis dan perikanan sesuai dengan kapasitas dan potensi yang kami miliki.

Selayang Pandang Geopolitik Ponpes Nahdjussalam


Keberadaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua Islam Nusantara telah diakui memiliki andil dan peran yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pesantren Nusantara telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya menjadi dinamisator dalam setiap proses sejarah nation and character building. Menurut Harry J. Benda, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial dan politik Indonesia. Bahkan menurut J. Benda para penguasa yang baru dinobatkan bersandar diri kepada para ahli agama, karena hanya merekalah yang dapat men-sah-kan pentasbihan.[1] Oleh karenanya keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan dari sejarah Indonesia, karena sejarah pesantren adalah sejarah Indonesia itu sendiri.[2]
Pesantren selain pengemban misi pewaris para Nabi dan penterjemah wahyu Tuhan terkait dengan peran keagamaan, ia juga memiliki pengaruh terhadap lingkungan masyarakatnya. Pesantren sebagai bagian dari institusi sosial, keagamaan, dan kultural tidak dapat dilihat sebagai sub-kultur dalam arti merupakan gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Meskipun pesantren mempunyai penggambaran kultural dengan karakternya yang khas, hal itu bukan berarti bahwa pesantren tertutup kepada pengaruh-pengaruh dari luar. Sebab pesantren sebagai milik dan bagian dari masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan sosial dan komuinitas kemasyarakatan lainnya.[3]
Hal tersebut juga berlaku pada sejarah berdiri dan keberlangsunganya pondok pesantren Nahdjussalam yang tidak terlepas dari peran masyarakat. Menurut masyarakat sekitar, sebelum berdirinya sebuah pesantren dahulunya kampung tersebut merupakan perkampungan arena judi, seperti sabung ayam, adu domba, dan lain-lain. Tidak mudah pastinya mendirikan sebuah pesantren dengan latar belakang seperti disebut. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil  ‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang adil­­ (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail fuqoro atau dukungan masyarakat umum.
 Banyaknya pihak yang berkontribusi pada pendirian pesantren mejadikan pesantren ini bersifat inklusif dengan masyarakat sekitar dan saling memberi pengaruh satu sama lain. 
Pondok pesantren Nahdjussalam, sudah satu abad lebih memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di masyarakat dengan mengacu kepada prinsip kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen, akhlak serta nilai-nilai luhur. Pondok pesantren Nahdjussalam telah berhasil menjadikan masyarakat kampung Panyawungan menjadi masyarakat yang agamis, hal itu diketahui tidak hanya oleh masyarakat sekitar saja, masyarakat luar daerah pun banyak mengetahui hal itu karena luasnya jejaring pesantren tersebut.
Pengaruh pondok pesantren yang masuk kedalam sendi-sendi norma, budaya, dan sistem kemasyarakatan di kampung Panyawungan juga membawa pengaruh besar pada budaya politik masyarakat. Masyarakat kampung Panyawungan mempunyai tipe tatanan otoritas kharismatis yang menjadikan kyai serta pesantren sebagai legitimasi gagasan-gagasan, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Namun, kini pesantren Nahdjussalam mendapatkan tantangan dalam membina masyarakatnya serta eksistensinya di masyarakat seiring dengan gempuran arus industrialisasi. Industrialisasi yang merebak di kawasan lingkar Panyawungan tidak pelak lagi membawa dampak positif yang sangat signifikan, seperti terbukanya lowongan pekerjaan, kemajuan perekonomian, percepatan pembangunan, dan lain-lain.
Namun industrialisasi yang berada di kawasan lingkar Panyawungan juga membawa sisi negatif yang berimbas pada kehidupan masyarakat, seperti urbanisasi yang tidak terkontrol, pencemaran lingkungan oleh limbah industri, dan lain-lain.
Urbanisasi yang tidak terkontrol membawa pengaruh besar terhadap sistem norma yang dianut oleh masyarakat sekitar, hal itu jelas tidak terbantahkan karena proses persentuhan antara budaya pendatang dan budaya lokal yang sangat cepat sehingga membawa perubahan dan memunculkan budaya baru dalam masyarakat. Selain itu perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industrialis juga berimbas pada perubahan sistem kemasyarakatan yang bersandarkankan pada orientasi materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional, heterogen, dan pemuasan kebutuhan.
Dalam masyarakat modern tentu tipe tatanan otoritas pun berbeda dengan masyarakat tradisional. Dalam masyarakat modern bentuk tatanan otoritasnya adalah otoritas rasional atau legal berdasarkan pada sebuah kepercayaan atau “legalitas”. Aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu dengan dasar kompetisi. Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-individu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga sebuah tradisi.[4]
Dari permasalahan tersebut penelitian ini menjadi penting karena memungkinkan banyaknya permasalahan yang unik. Misalnya, sebagai apakah pesantren dalam memposisikan dirinya pada perubahan yang didorong oleh industrialisasi? Apakah ia memposisikan dirinya sebagai makelar budaya (cultural broker) yang didefinisikan oleh Greetz yang menurutnya, kyai berperan sebagai alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungannya, menularkan apa yang menurutnya berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Atau justru pesantren memposisikan dirinya seperti temuan Hiroko Hirokoshi, menurutnya, kyai berperan kreatif terhadap perubahan sosial. Bukan karena sang kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.[5]
Meskipun hal itu tersentral pada seseorang, namun menurut penulis hal itu cukup relevan untuk dijadikan perbandingan mengingat otoritas kyai dalam sebuah pesantren hampir mutlak. Namun kebijakan seorang kyai juga tidak terlepas dari situsi dan kondisi internal yang melingkupi institusi yang dipimpinya, seperti aturan tertulis (tanbih), struktur kepengurusan, rentang generasi keluarga, dan lain-lain.


[1] Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta : Pustaka Jaya) 1983, h. 33
[2] Hasan Muarif Ambari, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial di Banten, Makalah Simposium Nasional dan Kongres Pemuda Al-Khairiyah se Indonesia, Serang 1992, h. 2

[3] H.M Yacub., Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung : Angkasa, 1985).
[4] Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman, (Jakarta: Kanisius, 1994),  h. 213
[5] Abdurahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial ?,” dalam Hiroko Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, (Jakarta: P3M, 1987),  h. XVii